Diesel Modern: Apakah Masih Relevan Di Era Elektrifikasi?
Diesel Modern Menjadi Sorotan Di Tengah Perubahan Besar-Besaran Dunia Otomotif

Sejarah Baru Wacana Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Yang Diinisiasi Oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon Yuk Kita Bahas Bersama. Proyek bertajuk “Penulisan Sejarah Nasional Indonesia” itu disebut sebagai langkah untuk memperbarui narasi sejarah yang dianggap bias kolonial dan belum memuat dinamika era kontemporer secara menyeluruh.
Dalam keterangannya, Fadli Zon menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah ini bertujuan menghadirkan narasi Indonesia-sentris, yang lebih mewakili perspektif lokal dibanding warisan narasi penjajah. “Kita ingin sejarah Indonesia ditulis oleh orang Indonesia, dari sudut pandang Indonesia,” ujarnya. Proyek ini melibatkan lebih dari seratus akademisi lintas universitas dan wilayah, dari profesor hingga peneliti sejarah muda.
Namun, tak semua pihak menyambut rencana ini dengan antusias. Sejumlah kalangan menganggap proyek tersebut berpotensi menjadi alat politik, terlebih karena dilakukan menjelang momentum 80 tahun kemerdekaan RI. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) bahkan meminta agar proyek ini dihentikan sementara, menilai adanya risiko subjektivitas dan manipulasi narasi jika tak dilakukan dengan prinsip transparansi.
Salah satu yang dipermasalahkan adalah masuknya era pasca-Orde Baru ke dalam cakupan penulisan. Era Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi akan dikaji dan dimasukkan dalam kerangka sejarah nasional—sesuatu yang sebelumnya belum pernah dilakukan secara sistematis dalam dokumen resmi negara.
Menanggapi kritik tersebut, Fadli menegaskan bahwa penulisan sejarah ini tidak bermaksud menjadi “ Sejarah resmi” seperti yang umum terjadi di negara otoriter. “Ini bukan sejarah versi pemerintah, tapi karya kolektif para sejarawan,” jelasnya. Ia juga menyatakan terbuka terhadap kritik dan akan menggelar forum diskusi publik untuk menjaga akuntabilitas. Penulisan sejarah ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025.
Wacana penulisan ulang sejarah nasional oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon memantik beragam reaksi dari masyarakat. Di berbagai platform media sosial hingga forum diskusi akademik, publik terbelah antara yang mendukung dan yang mengkritisi langkah ini. Sebagian kalangan menyambut baik niat memperbaharui sejarah nasional yang selama ini dinilai masih didominasi sudut pandang kolonial dan kurang mencerminkan realitas lokal. Namun tak sedikit pula yang mencemaskan potensi intervensi politik dalam proyek ini.
Mereka yang mendukung, terutama kalangan muda dan akademisi, menilai inisiatif ini sebagai bentuk koreksi terhadap warisan narasi sejarah yang selama ini terkesan “Jakarta-sentris” atau Terlalu Mengandalkan Sumber Belanda. Banyak yang berpendapat bahwa penulisan hal ini versi negara kolonial kerap mengabaikan peran tokoh lokal di berbagai daerah serta kontribusi masyarakat adat, perempuan, dan kelompok minoritas. Warga net pun ramai membagikan potongan sejarah lokal yang menurut mereka layak dimasukkan dalam versi terbaru sejarah nasional.
Namun di sisi lain, sebagian masyarakat menyampaikan rasa curiga dan skeptisisme. Terutama karena proyek ini bertepatan dengan dimulainya pemerintahan baru dan dilaksanakan oleh sosok politisi yang dikenal vokal di isu-isu ideologis. Kekhawatiran ini semakin diperkuat dengan anggapan bahwa sejarah bisa digunakan sebagai alat pembentukan opini publik atau legitimasi kekuasaan. “Takutnya ini jadi proyek politik yang dikemas ilmiah,” ujar seorang pengguna Twitter dalam diskusi publik daring.
Kritik juga datang dari kalangan jurnalis dan pegiat keterbukaan informasi. Mereka menyoroti kurangnya transparansi dalam proses penyusunan tim kurator sejarah serta tidak adanya partisipasi publik yang memadai. Sebagian menyarankan agar naskah sejarah yang sedang disusun dapat dibuka secara berkala untuk mendapat masukan dari masyarakat sipil dan komunitas sejarah lokal.
Wacana penulisan ulang sejarah nasional yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon bukanlah sekadar proyek akademik. Melainkan langkah strategis yang sangat penting untuk dijalankan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). hal ini bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga penentu identitas, arah pendidikan. Serta cara pandang bangsa terhadap dirinya sendiri. Dalam konteks ini, Pembaruan Sejarah Menjadi Hal Yang Krusial Untuk Membentuk Generasi Muda yang memiliki pemahaman yang lebih adil, utuh, dan relevan tentang bangsanya.
Pertama, pentingnya proyek ini terletak pada upaya dekolonisasi narasi hal ini . Selama puluhan tahun, banyak narasi sejarah Indonesia ditulis berdasarkan sumber-sumber kolonial yang menyudutkan tokoh lokal dan mengabaikan kontribusi masyarakat adat, perempuan, serta kelompok-kelompok marjinal lainnya. Dengan memperbarui hal ini , Kemendikbud bisa menghadirkan perspektif Indonesia-sentris yang lebih sesuai dengan semangat kedaulatan budaya dan keilmuan.
Kedua, sejarah yang direvisi secara ilmiah dan objektif akan memperkuat kurikulum pendidikan nasional. Banyak materi pelajaran hal ini saat ini dinilai usang, penuh simplifikasi, bahkan bias politik dari masa lampau. Dengan penulisan ulang yang melibatkan para ahli hal ini dari berbagai perguruan tinggi, generasi pelajar akan mendapatkan bahan ajar yang lebih akurat, kontekstual, dan mendorong daya kritis. Ini sejalan dengan semangat Merdeka Belajar yang diusung oleh Kemendikbudristek.
Ketiga, penulisan ulang ini penting dalam rangka menjaga memori kolektif bangsa. Periode pasca-Orde Baru, seperti masa kepemimpinan Habibie, Gus Dur, hingga Jokowi, belum banyak tercatat secara formal dalam buku hal ini nasional. Padahal, era-era ini membawa perubahan besar dalam sistem politik, ekonomi, dan kehidupan sosial. Mengabaikannya sama saja dengan membiarkan generasi mendatang tumbuh tanpa pemahaman hal ini kontemporer bangsanya.
Wacana penulisan ulang hal ini nasional yang dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon memicu berbagai kontroversi dan kritik tajam dari sejumlah kalangan. Meski proyek ini diklaim sebagai langkah ilmiah untuk memperbarui narasi hal ini Indonesia yang dinilai bias kolonial, banyak pihak mempertanyakan motif dan proses pelaksanaannya.
Salah Satu Kritik Utama Datang Dari Kelompok Masyarakat Sipil Dan Pengamat Pendidikan, Yang Menilai Proyek Ini Rawan Dipolitisasi. Mengingat Fadli Zon merupakan figur politisi aktif yang dikenal memiliki pandangan ideologis kuat. Muncul kekhawatiran bahwa penulisan ulang hal ini ini dapat disusupi kepentingan politik tertentu. Kritik ini diperkuat oleh momentum pelaksanaan proyek. Yang berdekatan dengan awal masa pemerintahan baru, sehingga menimbulkan persepsi bahwa hal ini sedang “disiapkan ulang” untuk mendukung narasi kekuasaan.
Selain itu, kritik juga diarahkan pada kurangnya transparansi dalam proses penyusunan tim sejarawan. Banyak pihak mempertanyakan siapa saja yang dilibatkan, bagaimana mekanisme seleksi. Dan apakah ada ruang partisipasi publik dalam menentukan sudut pandang hal ini yang akan digunakan. Sejumlah akademisi menyatakan bahwa proyek ini terlalu elitis dan tertutup. Serta belum mengundang diskusi yang luas dengan komunitas hal ini lokal atau masyarakat terdampak oleh narasi hal ini masa lalu.
Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), misalnya, secara terbuka meminta agar proyek ini ditunda. Mereka menilai prosesnya tidak partisipatif, berpotensi memonopoli tafsir hal ini dan melemahkan keberagaman narasi yang selama ini tumbuh di masyarakat. AKSI juga mengingatkan agar negara tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Ketika hal ini dijadikan alat propaganda yang hanya menonjolkan peran rezim tertentu Sejarah.